Gerbang pernikahan begitu sakral. Selayaknya
disikapi dengan dewasa. Bukan hanya mau menang sendiri, tanpa sudi mengindahkan
hak pasangannya. Bila demikian, maka kebahagiaan rumah tangga hanya
diangan-angan. Seperti kisah Sari, seorang ibu beranak dua. Ia menuturkan
kisahnya kepada Majalah Ghoib. Berikut petikannya.
Sebagai wanita, saya ingin
mengurangi beban orangtua yang tinggal sebatang kara. Bapak telah meninggal
sekian tahun yang lalu. Sementara ibu terbilang sudah tidak muda lagi. Umurnya
sudah berkepala lima.
Tahun 2000, saya memutuskan melamar kerja di sebuah perusahaan swasta. Meski saat itu sudah ada
seorang pemuda yang berniat menyunting saya. Namanya Rian.
Lamaran saya untuk bekerja diterima. Dunia baru yang memang
berbeda. Saya bertemu dan berinteraksi dengan orang dengan latar belakang yang
beragam.
Sementara itu Rian, yang
telah bertemu dengan ibu dan bibi, berniat untuk meminta restu kepada kedua
orangtuanya di Pekalongan, Jawa Tengah. Selama ini, saya memang tidak pernah
bertemu dengan Rian secara langsung. Saya hanya mengenalnya sebatas informasi
dari orang lain. Meski demikian, sejujurnya saya yakin bahwa ia pemuda yang
baik dan mampu menuntun istrinya.
Ketika dia main ke rumah,
saya tidak ikut serta menemaninya. Niatannya untuk menikah, itu pun
diutarakannya langsung di hadapan ibu dan bibi. Sementara saya hanya
mendengarnya dari balik pintu.
Memang, saat itu Rian
belum memberikan kepastian. Dia menggantung niatan nikah itu dengan restu
orangtuanya. Hanya batasan waktu tiga bulan yang ia berikan. Bila tidak ada
berita apapun darinya, maka saya bebas menikah dengan orang lain. Karena itu
berarti ia tidak mendapatkan restu dari orangtuanya.
Waktu berlalu begitu
cepat. Sementara kabar dari Rian belum juga datang. Dalam kondisi yang tidak
menentu itu, salah seorang teman kantor menemukan celah untuk mendekati saya.
Teman-teman biasa memanggilnya dengan Rizal, asal Sumatra. Nama lengkapnya Syahrizal.
Selama ini Syahrizal diam-diam memperhatikan saya. Hal itu saya ketahui dari
teman-teman. Meski sebenarnya kami satu kantor, tapi di gedung yang berbeda.
Entah darimana asalnya,
Syahrizal mengetahui rencana pernikahan saya dengan Rian. Hingga dalam suatu
kesempatan dia memojokkan saya, "Sudah mau nikah ya?" tanyanya. Saya yang masih
belum tahu ada apa di balik pertanyaan itu, menjawab apa adanya. "Iya,
tapi nanti setelah lebaran."
Mendengar jawaban yang
tegas itu, Syahrizal potong kompas. Dia mendatangi ibu dan bibi tanpa
sepengetahuan saya. Entahlah mantra apa yang dikatakannya kepada ibu dan bibi.
Hingga mereka berbunga-bunga. Dengan tangan terbuka mereka menerima kehadiran
Syahrizal menggantikan Rian. Kata bibi, siapa yang melamar duluan itulah yang
akan diterimanya.
Selama ini, Rian memang
belum pernah menghubungi ibu maupun bibi, bahwa ia mendapat restu dari
orangtuanya. Meski tenggat waktu tiga bulan telah berlalu. Meski ia juga telah
menelpon saya di kantor. Hanya memang, saya tidak menceritakan hal itu kepada
ibu maupun bibi, karena saya pikir, Rian sendiri yang akan menghubungi mereka.
Secara
berkala Syahrizal mendatangi ibu dan bibi. Seiring itu pula perasaan cinta saya
kepadanya mulai tumbuh. Perlahan namun pasti, saya melupakan Rian dan tidak
lagi banyak berharap. Sebaliknya, bayangan Syahrizal selalu hadir di hati. la memang lebih tua sepuluh tahun.
Satu hal yang saya harapkan lahirnya sikap kebapakan dan arif bijaksana.
Namun,
ada yang tidak wajar. Perasaan cinta saya semakin tidak terkendali.
Bayang-bayang Syahrizal selalu hadir di hati. Saat makan, sendirian, atau
bercengkerama dengan teman-teman.
Syahrizal memang tampan. la menjadi
idola banyak wanita di kantor. Bila kemudian ada teman wanita yang ngobrol
berdua dengannya, hati saya berdesir. Rona-rona kecemburuan yang seharusnya
tidak merasuk ke dalam jiwa, tidak lagi terhindarkan. Bila hal itu sudah tidak
lagi tertahankan dada rasanya ingin meledak. Saya ingin mendatangi wanita itu
dan memarahinya.
Uci, teman karib saya
yang melihat perubahan saya dari hari ke hari geleng-geleng kepala. "Kok
begitu banget sih kamu," katanya suatu siang. Memang, bila dalam sehari saya tidak
bertemu dengan Syahrizal, seakan ada sesuatu yang hilang. Rindu saya ingin
melihat wajahnya tidak lagi tertahankan. Hingga terkadang saya marah-marah
tanpa alasan yang jelas.
Dari sinilah kemudian,
saya mulai mendesak orangtua untuk segera melamar. Saya tidak lagi mempedulikan
adat. Pihak laki-laki yang seharusnya datang ke rumah wanita, bukan sebaliknya.
Tapi bagi saya saat itu, adat ini bukanlah harga mati. Saya tidak ingin kehilangan
Syahrizal. Saya tidak ingin melihatnya dinikahi wanita lain. Karena itu pilihan
yang ada di mata saya adalah melamar. Ya, pihak wanita yang melamar. Meski hal
itu sempat ditentang oleh paman. Namun akhirnya mereka meluluskan juga. Karena
saya sering uring-uringan.
Resepsi pernikahan pun
digelar. Harapan bersanding dengan Syahrizal di kursi pengantin pun terlaksana,
meski ada sedikit keterlambatan dari pihak mempelai lakilaki, alhamdulillah acara
resepsi berjalan lancar. Setidaknya harapan menjadi raja dan ratu sehari telah
tercapai.
Diperlihatkan jin oleh
suami
Setelah resepsi pernikahan
selesai. Rombongan tamu dan undangan pun sudah ke rumah masing-masing,
menyisakan makanan, minuman dan piring-piring yang masih berserakan. Hari itu juga, kami pindah ke
rumah kontrakan yang tidak jauh dari rumah
ibu. Hanya berjarak seratusan meter. Hanya ada antara saya dan Syahrizal, yang
telah sah dan resmi menjadi suami saya.
Namun, justru di hari dan
malam pertama itu, bayang-bayang kebahagiaan sedikit redup. Padahal itu di
malam pertama kami. Suasana pesta siang tadi juga masih tercium. Pasalnya, pada
malam itu Mas Rizal, begitu saya biasa memanggilnya, memberikan hadiah yang
tidak terduga oleh seorang istri manapun. Mas Rizal memberi saya seorang penjaga dari bangsa jin.
Ya, dia mengharapkan bantuan dari mereka
untuk menjaga saya bila saya seorang diri, tanpa kehadirannya di samping saya.
Mulanya, kami bercanda dan
Mas Rizal mengungkapkan tawaran yang saya kira hanya gurauan semata.
"Dik, sudah pernah lihat hantu belum?" candanya.
"Belum," kata
saya. "Emang kenapa?" tanya saya lagi.
Selang beberapa lama
kemudian, di depan rumah, dari balik jendela biasanya tukang sate keliling
sering lewat. Malam itu, saya melihat sosok penjual sate mendekat. Dari jauh,
sorot lampunya terlihat terang. "Eh, ada tukang sate," seru saya.
Semakin lama bayangan itu semakin mendekat. Tapi mulut saya ternganga menyaksikan pemandangan
itu. "Apa itu mas, kok besar sekali?" saya mulai ketakutan.
"Tidak
apa-apa. Itu kan cuma teman," jawab Mas Rizal acuh tak acuh.
"Teman?" saya
tidak bisa menghilangkan keterkejutan saya. apa benar Mas Rizal berteman dengan hantu? Beragam
pertanyaan mulai terlintas dalam benak saya. "Iya tidak apa-apa. Baca an-Naas,
al-Falaq sama al-Fatihah, nanti juga hilang. Dia cuma ingin kenalan kok. Ingin
bersahabat," jawabnya menghilangkan keterkejutan saya. Ketika saya desak
lebih jauh darimana ia dapatkan temannya. Mas Rizal menceritakan bahwa dulu, dia
pernah belajar dari seseorang yang dianggap tokoh agama di kampungnya. la kemudian
diajari wiridan-wiridan yang mendatangkan jin. Saya bingung, hingga malam itu saya tidur
dengan galau.
Malam-malam berikutnya
kejanggalan demi kejanggalan bermunculan. Suara tikus di atap rumah berisik
sekali. sementara bunyi-bunyian di depan rumah juga tidak kalah serunya. Klotek...
klotek.... Saya penasaran, dengan perlahan saya mengintip dari balik jendela suara
apakah itu sebenarnya. Rupanya, tempat sampah dari plastik di depan rumah,
terbuka dan tertutup sendiri. Tidak ada tikus atau hewan lain di dalamnya.
Saya penasaran. Saya
keluar dan saya lihat, ternyata kosong. Di dalam tempat sampah itu tidak ada
binatang apapun. Tak urung bulu kuduk saya merinding dibuatnya. "Ini rumah
banyak hantunya ya?" kata saya ke Mas Rizal. Namun, Mas Rizal biasa saja. la tidak
merasa terusik atau terganggu. la masih menganggap suara-suara aneh itu
adalah bagian dari kesehariannya. Kejadian seperti ini berlangsung beberapa
hari, bahkan sesekali terdengar suara orang melempar batu ke atap rumah. Untuk
menghilangkan gangguan-gangguan itu saya memutar kaset murattal sehabis shubuh.
Sewaktu sendirian di
rumah kebetulan lampu listrik padam. Saya nyalakan lilin, saat itulah nyala
lilin itu memanjang lebih dari sepuluh senti. Ketika Mas Rizal, saya ceritakan perihal nyala
lilin itu. "Mas, tadi waktu saya nyalakan lilin, kan mati lampu, kok nyalanya bisa memanjang sampai ke atas ya?" "Nggak
apa-apa. Adik kalau di rumah kan
ada yang jagain. Adik sudah saya kasih jin satu," kata Mas
Rizal terus terang. Astaghfirullah,
saya merinding bercampur takut. "Tidak apa-apa. Kalau nanti ada yang jahatin sama adik,
dia yang jagain," katanya. "Nggak mas, yang jagain itu Allah. Mas Rizal tidak boleh begitu. Itu
dosa." Saya mencoba meminta untuk mencabut kembali jin itu. Saya tidak mau hidup bersama jin. Tapi Mas
Rizal tetap kekeh. Dia tidak mau mencabutnya, karena ilmu itu
didapatkannya dari seseorang yang
dianggap paham agama.
la yakin bahwa apa yang dilakukannya itu tidak salah.
Dibakar api cemburu
Seminggu setelah menikah,
kami masuk kantor lagi. Berangkat bersama, pulang pun demikian. Mas Rizal
biasanya sudah menelpon saya jam lima agar saya segera bersiap-siap. Saat keluar
dari ruangan kantor, ia selalu menengok dan memperhatikan cukup lama seorang
karyawati bank swasta yang kantornya di samping kanan pintu ruang kantor kami.
Pada mulanya, saya menganggap biasa sehingga saya ikut-ikutan menyapa karyawati
tersebut. "Mbak, pulang duluan ya?" "Oh iya," katanya
sambil tersenyum.
Tapi hal itu terus berlanjut
setiap hari. Bahkan terkadang Mas Rizal menunjukkan kesan bahwa banyak wanita
yang jatuh hati kepadanya. Di antaranya adalah karyawati tersebut. Itu berita yang
saya dengar dari teman-teman. Lama kelamaan, jiwa kewanitaan saya berontak.
Saya tersulut api cemburu. Ketika Mas Rizal ngeloyor ke tempat
karyawati tersebut saya langsung pergi. Tanpa pamitan seperti
biasanya.
Saya menegurnya di jalan.
"Mas Rizal nggak boleh seperti itu. Sudah
punya istri masih
suka tengak-tengok." Nggak, cuma lihat saja,"
elaknya. "Iya, tapi tidak boleh sampai lama-lama begitu," tukas saya
lagi.
Kejadian
yang sama selalu saja terulang. Mas Rizal tetap saja ngobrol dengan karyawati tersebut.
Akhirnya daripada ribut di jalan, saya mengambil keputusan untuk pulang duluan. Dan
rasanya lebih nyaman. Setelah itu biasanya di rumah, kami bertengkar. Saya diam saja
di rumah. Saya sediakan makanan begitu saja, tanpa banyak bicara. Tidak
seperti biasanya. "Kenapa sih diam saja?" "Nggak apa-apa," kata saya. Terkadang saya
diamkan saja sampai pagi, lalu saya berangkat ke kantor sedirian. Yang penting
saya sudah menyiapkan sepatu dan bajunya.
Saya berpamitan melalui
tulisan di kertas. Karena Mas Rizal belum bangun. Mas, diminum airnya, makannya
jangan lupa. Saya berangkat duluan. Mas Rizal marahnya luar
biasa, padahal saya hanya diam dan tidak menegur dengan keras. Kepalanya dibentur-benturkan ke tembok. Tangannya mukul-mukul
tembok. Mas Rizal kesal.
Pertengkaran kecil,
selalu mengisi keseharian kami. Mas Rizal bukan seperti yang saya bayangkan sebelumnya.
Kebapakan dan bijaksana, seperti kesan yang ditunjukkannya sebelum menikah. Tapi,
semuanya telah terjadi. Saya tidak boleh menyerah dan berputus asa. Semoga dari sini,
saya dapat meraih ridha Allah.
Saat hamil tujuh bulan,
saya mengalami pendarahan. Dan dokter menyarankan saya untuk banyak
istirahat. Saya tidak boleh terlalu capek, bila tidak ingin semakin parah. Akhirnya saya
memutuskan untuk mengundurkan diri dari tempat kerja. Sejak saat itu, saya tidak
diperkenankan Mas Rizal pergi kemana-mana. Juga tidak boleh banyak ngobrol dengan
tetangga.
Setelah kelahiran anak
pertama, saya berharap Mas Rizal mulai berubah. Kebiasaannya yang baru
untuk pulang malam, bisa dikurangi. Saya berharap anak yang baru lahir ini
menjadi pelita dalam rumah tangga. Menjadi perekat antara kami, yang tidak begitu harmonis
dalam menjalankan bahtera rumah tangga ini.
Namun, semua itu ternyata
tidak banyak berarti. Tangisan Putri, anak pertama saya tidak banyak meluluhkan
hati Mas Rizal. Ia tetap pulang malam dan enggan bergurau dengan anaknya
sendiri.
Sepertinya tidak ada rasa
kangen bertemu dengan anaknya. Putri pernah sakit panas. Tensinya di atas
35 derajat celcius. Sepanjang malam Putri yang masih berumur 8 bulan itu menangis. la sama
sekali tidak mau ditidurkan. Tapi anehnya, Mas Rizal enak saja tidur, tanpa terusik
dengan tangisan anaknya. Atau membantu saya menggendongnya. Awalnya saya kira
ia lelah, namun setelah hal itu berlanjut hingga tujuh hari saya paham bahwa Mas
Rizal memang tidak mau direpotkan dengan anak-anak.
Saya sedih, mengapa harus
begini jadinya. Tapi saya tidak ingin banyak mengeluh. Sampai detik
itu tidak seorang pun keluarga yang mengetahui perilaku Mas Rizal. Karena saya
tidak pernah bercerita kepada siapapun. Sampai akhirnya terjadilah peristiwa
mengerikan yang terjadi di malam Idul Fitri. Waktu Putri berumur 1.5 tahun. Jelang lebaran
itu, saya tidak sempat melipat jemuran karena harus membantu ibu memasak. Ibu
sedang sakit, sehingga tidak bisa menyelesaikan tugas masak untuk persiapan esok
hari.
Kemarahan yang terus memuncak
Saat Mas Rizal pulang
dari kantor, ia mendapatkan jemuran masih tergeletak di lantai dan belum dilipat.
Saat itulah kemarahannya memuncak. "Ini jemuran masih berantakan. Belum diberesin," bentaknya dengan keras.
Saya tidak mau bertengkar. Saya minta maaf. Saya jelaskan bahwa sore
itu saya membantu ibu masak dan belum sempat menyelesaikan tugas rumah.
"Sekarang
sudah tidak nurut lagi ya, sama suami," katanya. Untuk meredam kemarahannya, saya
katakan bahwa saya sedang hamil dua bulan. Selama ini saya memang belum bercerita
kepada Mas Rizal, karena saya menunggu saat yang tepat. Namun diluar dugaan. Plok.
Tangannya langsung melayang menampar pipi saya. Saya menangis dan tidak
mengerti mengapa sedemikian marahnya. Baru dua tahun menikah, tapi Mas Rizal
terus berubah.
Saya
pindahkan jemuran ke tempat lain. Saya pergi ke rumah tetangga untuk meminjam sesuatu. Tapi
dia sudah pulang. tetangga sebelah menyampaikan bahwa Putri menangis.
"Mbak dari mana, itu Putri menangis. Sepertinya jatuh." Saya
berlari ke
rumah dan mendapatkan Putri sudah di teras menangis. Saya tanya,
"Kenapa menangis
sayang?" "Itu bapak nakal. Putri dipukul," jawabnya dengan
sesenggukan. Saya ikut menangis, kenapa Mas Rizal begitu tega memukul anaknya
sendiri. Ketika saya tegur, Mas Rizal menjawabnya dengan kasar. "Biarin.
Saya banting sekalian,' katanya.
Sejak itu kemarahan Mas
Rizal terus memuncak. Hanya karena masalah sepele, saya sudah kena damprat.
Lupa tidak menyediakan teh saat berangkat atau pulang kantor saja, saya sudah
kena marah. Padahal, saya merasa selama ini menuruti kemauannya. Dilarang main
ke tetangga, saya turuti. Tidak mengikuti pengajian, juga saya turuti.
Pernah saya hampir disiram
dengan air panas dari termos. Saya sampai menangis, dengan berlutut saya
pegangi kakinya. "Saya minta maaf kalau selama ini ada salahnya, tapi jangan
sampai begitu banget," kata saya. Tapi semua itu tidak meredakan kemarahannya.
"Sadar. Sadar kayak gitu itu dosa," saya berusaha menenankan Mas Rizal. Tapi
ia justru makin marah. Saya ditendangnya. "Ngomong lagi. Kalau dikasih tahu
sama suami diam. Tidak usah ucap sepatah katapun," katanya. Akhirnya saya
memilih diam dengan air mata berlinang.
Keluarga Mas Rizal
memperhatikan keadaan saya yang serba berkekurangan. Sehingga baju pun
jarang gonta-ganti. Padahal mereka melihat
sendiri bahwa Mas Rizal kerja tiap hari. Sabtu dan Ahad pun tidak libur, pulang
jam dua belas malam. saya sedih mendengar komentar mereka. Karena sebagai
seorang istri saya tidak bisa menutupi kekurangan suami.
Kelahiran anak yang kedua,
tetap juga tidak membawa perubahan. Sikap kebapakan yang saya harapkan darinya pun
belum kelihatan. Sementara kedua anak saya sedang membutuhkan figur seorang ayah
yang mengayomi dan melindungi mereka. Saat liburan bersama keluarga besar,
Mas Rizal lebih senang menyendiri dan enggan bergabung dengan saya dan kedua
anaknya. Sampai ada saudaranya yang menegurnya. "Rizal, kamu itu gimana
sih. Istrimu itu sudah nggendong, terus bawa tas lagi." Tapi mas
Rizal hanya diam. Tidak tergerak untuk membantu saya.
Setelah semakin lama, Mas
Rizal semakin suka memukul, saya tidak tahan lagi menahan derita ini
sendirian. Saya membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah. Akhirnya saya
ceritakan semuanya kepada Bibi. Dari sini kemudian semua keluarga pada. tahu. Mereka akhirnya
menyerahkan semua keputusan kepada saya, apakah masih terus berlanjut
atau cerai.
Selama
ini saya masih berkeyakinan bahwa perangai yang kasar itu bukan bagian dari pribadi Mas Rizal
yang sesungguhnya. Terlebih, Mas Rizal pernah mengikuti terapi ruqyah di
kantornya. Menurut berita yang saya dengar dari temannya, saat itu Mas Rizal paling keras
reaksinya di antara peserta lainnya. Jin yang merasukinya bernama Adnan dan
membutuhkan waktu yang lama untuk mengeluarkannya. Namun, sejak itu Mas Rizal
tidak pernah lagi mau mengikuti ruqyah. Ketika saya desak, ia bahkan berkilah
bahwa jin itu tidak akan bisa dikeluarkan karena dia telah melakukan perjanjian
tertentu. Entahlah, perjanjian seperti apa. Mas Rizal tidak pernah mau terbuka.
Saya masih berharap Mas Rizal berubah. Karena itu saya mencoba bertahan sampai
batas kemampuan terakhir.
Sebenarnya, sejak hamil
kedua saya sudah merasakan sakit perut. Hal ini terjadi setelah saya didatangi
sosok hitam besar. Kulitnya berbulu. Makin lama makin dekat dan tiba-tiba
hilang begitu saja. Malam harinya, ketika tidur saya merasakan ada makhluk
besar yang duduk di atas saya sehingga saya tidak bisa bangun. "Kok
tidak bisa
bangun, kenapa ya Mas?" tanya saya. "Sudahlah tidur saja jangan
berisik," kata Mas
Rizal. Waktu itu lagi hamil muda. Tangan dan kaki saya tidak bisa diangkat.
Karena suami tidak bangun, saya terus membaca la ilaha illallah wahdahu
la syarikalah menjelang shubuh, baru
bisa tidur. Semenjak itu saya sering sakit perut dan kadang kembung. Ketika berobat
medis dokter mengatakan bahwa saya tidak sakit apa-apa. Itu hanya karena beban
psikologis saja.
Akhir-akhir ini saya suka
menyendiri dan seperti orang kebingungan. Itulah yang kemudian membawa saya
mengikuti terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib, setelah mendapat informasi dari
saudara sepupu.
Saat terapi ruqyah, saya
berontak dan berteriak-teriak. Kata teman yang menyertai saya, suara saya
berubah seperti suara laki-laki. Malam harinya, saya tidak bisa tidur. Badan
saya rasanya sakit semua. Keesokan malamnya, saya bahkan tidak bisa bangun.
Waktu itu ibu ada main ke rumah dan saya ceritakan bila sebelumnya mengikuti ruqyah.
Ibu tidak banyak
berbicara, namun dari sorot matanya saya merasakan kesedihannya melihat saya.
Saya membaca doa-doa yang saya hafal, tapi seiring dengan itu, saya semakin
tidak bisa bangun. Sampai akhirnya Mas Rizal pulang jam dua belas malam. Saya
minta didoakan, semoga doanya dikabulkan Allah, tapi ia menanggapinya dengan acuh
tak acuh. "Doa saja sendiri," katanya sambil menyandarkan diri di
kursi.
Keesokan harinya,
tenggorokan saya terasa kering. Saya minta Mas Rizal mengambil air putih. Mas
Rizal memberi segelas air putih setelah sebelumnya dibacakan doa. Entah apa
yang dibacanya, saya tidak tahu. Saya hanya berdoa, semoga Allah segera
menyembuhkan saya. Memang, setelah minum air tenggorokan saya terasa segar.
Kembali keanehan
bermunculan di rumah setelah saya mengikuti terapi ruqyah. Gelas di atas lemari
es, bergoyang-goyang sendiri. Saya sadar itu adalah bagian dari perjawanan jin
yang mencoba menteror saya agar saya melemah. Tapi bagi saya hal itu justru
berlaku sebaliknya. Saya akan tetap mengikuti terapi ruqyah. Saya terus
mendengarkan kaset ruqyah dengan headphone. Bahkan di sela-sela
mengajar di bimbingan belajar, saya sempatkan diri untuk dengarkan kaset ruqyah
beberapa saat. Ya, sekarang saya sudah punya kegiatan baru. Menjadi pembimbing
di sebuah lembaga kursus. Kegiatan yang baru berjalan beberapa bulan ini.
Saya
berharap dengan itu semua, saya tabah menghadapi masalah demi masalah yang terus mendera. Saya
berdoa semoga perjalanan rumah tangga kami segera menemukan titik terang. Bukan
lagi seperti dua tahun kemarin yang terus digoncang dengan perselisihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar