شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِيْ أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ
مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“(Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan
yang bathil)…
(QS. al-Baqarah: 185).
Ternyata
al-Qur’an sebagai kitab suci yang selama ini telah menjadi pedoman hidup kita
turunnya pada bulan Ramadhan, tepatnya pada malam keagungan atau malam lailatul
qadr. Bukankah lailatul qadr itu adanya di sepuluh hari terakhir pada bulan
Ramadhan? Sebagaimana yang banyak diberitakan oleh Rasulullah dalam banyak
haditsnya yang shahih. Lalu kenapa kita selalu memperingati peringatan turunnya
al-Qur’an pada tanggal 17 Ramadhan? Apakah ada kesalahan referensi sehingga
antara keduanya itu terjadi tulalit? Inilah salah satu permasalahan yang
akan kita urai pada tema ini.
Tahapan Proses Penurunan al-Qur’an
Selama ini
kita memahami bahwa turunnya al-Qur’an dari Allah kepada Rasulullah terjadi
hanya dengan satu proses. Yaitu Allah menurunkan al-Qur’an secara bertahap
kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Padahal sebenarnya tidaklah
seperti itu. Al-Qur’an diturunkan melalui dua kali proses penurunan.
Pertama,
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah (di langit
dunia) secara keseluruhan dan sekaligus, dan itu terjadi pada waktu lailatul
qadr. Kedua, Malaikat Jibril atas perintah Allah menurunkan al-Qur’an
dari Baitul ‘Izzah kepada Rasulullah secara berangsur dan dalam jangka waktu
yang cukup lama, yaitu 23 tahun. 13 tahun di Makkah dan sekitarnya, dan 10
tahun lagi di Madinah dan sekitarnya.
Salah seorang
pemuka shahabat Rasulullah yang dikenal sebagai ahli tafsir al-Qur’an yang
bernama Ibnu Abbas. Ia telah menyatakan hal itu sebagai informasi yang valid
dan akurat bagi kita untuk mengurai keruwetan pemahaman kita selama ini tentang
turunnya al-Qur’an.
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ –رضي الله عنهما-
قَالَ: أُنْزِلَ الْقُرْآنُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ إِلَى
السَّماَءِ جُمْلَةً وَاحِدَةً، ثُمَّ أُنْزِلَ نُجُوْمًا. (رواه
الطبراني)
Ibnu Abbas berkata,
“Al-Qur’an diturunkan pada malam keagungan (lailatul qadr) di bulan Ramadhan ke
langit dunia secara keseluruhan dan sekaligus, lalu diturunkan secara
bertahap.” (HR. at-Thabrani, dan al-Haitsami menyatakan bahwa para perawinya
terpercaya).
Dalam riwayat lainnya,
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ –رضي الله عنهما-
قَالَ: أُنْزِلَ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً حَتَّى وُضِعَ فِيْ بَيْتِ اْلعِزَّةِ
فِي السَّماَءِ الدُّنْيَا، وَنَزَّلَهُ جِبْرِيْلُ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى
الله عليه وسلم-
بِجَوَابِ كَلاَمِ اْلعِبَادِ وَأَعْمَالِهِمْ. (رواه البزار)
Ibnu Abbas
berkata, “Mulanya al-Qur’an diturunkan keseluruhan sekaligus, dan diletakkan di
Baitul ‘Izzah (langit dunia). Selanjutnya, diturunkan Allah melalui Malaikat
Jibril kepada Rasulullah untuk menjawab pernyataan para hamba dan
aktifitas-aktifitas mereka.” (HR. al-Bazzar dan para perawinya dinyatakan terpercaya
oleh al-Haitsami. Lihat Kitab Majma’uz Zawaid: 7/ 140).
Jadi, kitab
suci al-Qur’an itu turun dalam dua tahap. Yang pertama turun secara lengkap (30
juz) sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah (langit dunia), dan itu
terjadi pada bulan Ramadhan, tepatnya pada malam keagungan (Lailatul Qadr).
Lalu tahap kedua, yaitu turunnya al-Qur’an itu dari langit dunia ke Rasulullah
melalui malaikat Jibril secara bertahap, yang dimulai penurunannya pada malam
keagungan atau Lailatul Qadr, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam asy-Sya’biy.
Kebingungan Seputar Turunnya
al-Qur’an?
Banyak
masyarakat Islam yang kebingungan saat memahami dua ayat di atas. Al-Qur’an
diturunkan pada bulan Ramadhan, atau tepatnya pada malam keagungan (lailatul
qadr) sebagaimana yang dijelaskan oleh dua ayat tersebut.
Sementara itu
kita mengetahui bahwa al-Qur’an turunnya kepada Rasulullah secara bertahap,
alias tidak sekaligus dalam waktu itu juga turun 30 juz sebagaimana yang
tertulis dalam mushhaf yang kita miliki sekarang ini. Dan tidak semua ayat
turun dalam bulan Ramadhan, banyak sekali ayat-ayat yang kalau kita baca dalam
banyak referensi, turunnya tidak dalam bulan Ramadhan. Lalu bagaimana cara
memahami dua hal yang sekilas merupakan hal yang paradok atau berlawanan.
Allah telah
berfirman.
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِيْ أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ
مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil)… (QS. al-Baqarah: 185).
Dalam ayat
lainnya Allah menyebutkan bahwa al-Qur’an itu diturunkan pada lailatul Qadr,
malam keagungan dan kemuliaan yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan.
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ
الْقَدْرِ ﴿١﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ﴿٢﴾ لَيْلَةُ الْقَدْرِ
خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ ﴿٣﴾
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu
apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.”
(QS. al-Qadr: 1-3).
Sebetulnya
tidak ada pertentangan antara keterangan yang termuat dalam ayat-ayat tersebut
dengan turunnya al-Qur’an kepada Rasulullah secara bertahap. Karena proses
turunnya al-Qur’an itu ada dua tahap. Tahap pertama, al-Qur’an turun
dari Lauhul Mahfuzh sekaligus (secara keseluruhan) ke Baitul ‘Izzah
(di langit dunia). Tahap kedua, al-Qur’an turun dari langit dunia ke
Rasulullah secara bertahap dalam kurun waktu sekitar 23 tahun.
Kebingungan
seperti itu pernah dialami oleh seseorang yang bernama Athiyyah bin al-Aswad.
Lalu ia bertanya kepada seorang shahabat Rasulullah yang bernama Ibnu Abbas.
“Ada keraguan dalam hatiku, yaitu antara informasi yang ada dalam surat
al-Baqarah ayat 185 dengan firman Allah yang ada dalam surat al-Qadr. Padahal
ada ayat yang diturunkan dalam Bulan Syawwal, Bulan Dzul Qa’dah, Bulan Dzul
Hijjah, Bulan Muharram, Bulan Shafar atau Bulan Rabi’ul Awwal dan Rabi’uts
Tsani? Ibnu Abbas menjawab, “Sesungguhnya al-Qur’an itu diturunkan dalam bulan
Ramadhan pada waktu Lailatul Qadr keseluruhan dan sekaligus. Lalu diturunkan ke
Rasulullah secara bertahap sebagaimana waktu-waktu turunnya dalam bilangan
bulan dan hari.” (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Mardawaih).
Polemik Seputar Tanggal Turunnya al-Qur’an
Pada malam
kemuliaan (lailatul qadr), al-Qur’an diturunkan Allah dari Lauhul Mahfuzh ke
Baitul ‘Izzah secara keseluruhan dan sekaligus. Hanya saja, waktu itu kapan hal
itu terjadi. Apakah di awal Ramadhan, di pertengahan Ramadhan, atau di akhir
Ramadhan?
Ada sebuah
riwayat yang menjelaskan hal tersebut.
عَنْ
وَاثِلَةَ بْنِ اْلأَسْقَعِ –رضي الله عنه- أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ: أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيمَ
عَلَيْهِ السَّلاَم فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَتِ
التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ، وَاْلإِنْجِيلُ لِثَلاَثَ عَشْرَةَ
خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَ الْزبور ِلثَمَانَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ
رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَ الْفُرْقَانُ ِلأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ.
(رواه
أحمد)
Watsilah bin al-Asqa’ berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Shuhuf
Ibrahim diturunkan pada permulaan malam bulan Ramadhan. Kitab Taurat diturunkan
setelah berlalu hari keenam bulan Ramadhan. Kitab Injil diturunkan setelah
berlalu hari ke tiga belas bulan Ramadhan. Kitab Zabur diturunkan setelah
berlalu hari kedelapan belas bulan Ramadhan. Dan kitab al-Qur’an diturunkan
setelah berlalu hari kedua puluh empat bulan Ramadhan.” (HR. Ahmad, no. 16370.
Dan dihasankan Imam al-Albani).
Itulah tanggal turunnya al-Qur’an dari Lauhul Mahfuzh ke
Baitul ‘Izzah. Yaitu setelah berlalu hari ke-24 bulan Ramadhan, berarti pada
malam ke-25 dari bulan Ramadhan. Malam yang ganjil, yang mana malam itu
termasuk malam datangnya Lailatu Qadr sebagaimana yang diberitakan Rasulullah
dalam hadits-hadits yang shahih. Lailatul qadr itu datangnya pada sepuluh hari
terakhir dari bulan Ramadhan dan pada malam-malam ganjil. Yaitu malam ke-21,
ke-23, ke-25, ke-27, dan ke-29.
Sedangkan awal turunnya al-Qur’an ke Rasulullah sebagai
wahyu baginya, para ulama’ banyak yang berselisih tentang kapan waktunya. Ada
yang mengatakan bahwa Rasulullah mulai menerima wahyu dari Malaikat Jibril pada
bulan Rabiu’ul Awwal. Dan ada yang mengatakan pada bulan Rajab. Dan ada juga
yang berpendapat bahwa turunnya wahyu yang pertama pada bulan Ramadhan.
Dan Syekh Shafiyurahman al-Mubarakfury memilih pendapat yang
terakhir inilah yang paling kuat dan paling akurat. Dia mempunyai landasan yang
sangat kuat untuk menyandarkan pilihannya tersebut. Yaitu berdasarkan ayat 185
dari surat al-Baqarah, ayat pertama dari surat al-Qadr, ayat ke-3 dari surat
ad-Dukhan.
Lalu tanggal berapa tepatnya turun wahyu yang pertama
tersebut. Para ulama’ juga berbeda pendapat dalam penentuan tanggalnya. Ada
yang mengatakan tanggal 7 Ramadhan, ada yang mengatakan pada tanggal 17
Ramadhan, ada yang berpendapat pada tanggal 18 Ramadhan, dan ada juga yang
berpendapat pada tanggal 21 Ramadhan.
Karena mayoritas para ahli sejarah bersepakat bahwa
Rasulullah pertama kali menerima wahyu dari malaikat Jibril dalam kondisi
terjaga (bukan tidur) itu pada hari Senin. Dan mereka mendasarkan
kesepakatannya itu pada beberapa riwayat hadits yang shahih. Di antaranya.
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ اْلأَنْصَارِيِّ -رَضِي
اللَّه عَنْه-
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-
... وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ اْلاِثْنَيْنِ، قَالَ: ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ
وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ... (رواه مسلم)
Abu Qatadah berkata, “…Rasulullah pernah ditanya tentang
puasa pada hari Senin?’ Beliau menjawab, ‘Itu adalah hari aku dilahirkan, dan
hari aku diutus (sebagai rasul) atau hari diturunkannya wahyu kepadaku…”. (HR.
Muslim, no. 1977).
عَنْ
أَبِي قَتَادَةَ -رَضِي اللَّه عَنْه- قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- عَنْ صَوْمِ يَوْمِ اْلاِثْنَيْنِ،
فَقَالَ: فِيهِ وُلِدْتُ وَفِيهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ. (رواه أحمد)
Abu Qatadah
berkata, “Rasulullah pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin?’ Beliau
menjawab, ‘Pada hari itu aku dilahirkan, dan pada hari itu wahyu diturunkan
kepadaku”. (HR. Ahmad, no. 21504).
Dan menurut para ahli
sejarah, hari Senin pada bulan Ramadhan di tahun itu adalah hari ke-7, hari
ke-14, hari ke-21, hari ke-28. Sedangkan dalam hadits-hadits yang shahih,
banyak disebutkan bahwa Lailatul Qadr itu biasanya datang pada malam-malam
ganjil di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.
Apabila
kita gabungkan antara berita dari Allah bahwa al-Qur’an diturunbkan pada malam
keagungan (lailatul qadr), dan hadits Abu Qatadah bahwa pada hari Senin
Rasulullah menerima wahyu pertamanya, dan penelusuran para ahli Sejarah
berdasarkan hitungan kalender (al-manak), bahwa jatuhnya hari Senin pada waktu
itu pada hari ke-7, ke-14, ke-21 dan ke-28. Maka pendapat yang paling kuat
tentang kapan turunnya al-Qur’an kepada Rasulullah adalah malam ke-21 Ramadhan.
Lalu kenapa
negara kita (Indonesia) menetapkan tanggal 17 Ramadhan sebagai hari turunnya
al-Qur’an (Nuzulul Qur’an)? Tentu jawabannya adalah dengan menelusuri alas an
orang-orang atau tokoh-tokoh yang wajtu itu menetapkan 17 Ramadhan sebagai hari
turunnya al-Qur’an. Merekalah yang paling tahu tentang alas an ditetapkannya
tanggal tersebut sebagai hari turunnya al-Qur’an.
Mungkin saja
pada waktu itu mereka menemukan refernsi yang menyatakan bahwa tanggal 17
Ramadhan adalah hari diturunkannya al-Qur’an pertama kali kepada Rasulullah.
Dan memang ada pendapat yang menyatakan hal itu, meskipun setelah dikaji
kembali ternyata pendapat itu kurang kuat. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam kitabnya. (Lihat Kitab ar-Rakhiqul
Makhtum: 66).
Penulis
menemukan dalil yang menyatakan bahwa tanggal 17 Ramadhan adalah hari datangnya
lailatul qadr, dalil itu ada di salah satu kitab tafsir yang cukup terkenal.
Dan itu bukanlah hadits nabi, tapi merupakan pernyataan dari salah seorang
shahabat Rasulullah yang bernama Zaid bin al-Arqam.
Dalam kitab
tersebut tertulis bahwa Zaid bin Arqam pernah ditanya tentang waktu datangnya
Lailatul Qadr. Dia menjawab, “Itu adalah pada malam 17 Ramadhan, ia tidak ragu
menyatakan hal itu. Ia menambahakan, 'Waktu itu diturunkannya al-Qur'an, hari
pembeda dan hari bertemunya dua pasukan (Pasukan Islam dan Kafir di Perang
Badar." (Kitab Tafsir ad-Durrul Mantsur: 8/ 580).
Al-Qur’an Turun Ke Rasulullah Secara Bertahap
Al-Qur’an
turun ke Rasulullah melalui malaikat Jibril secara bertahap. Ada yang turun
karena sebab atau peristiwa tertentu, dan ada juga yang turun dengan sendirinya
tanpa sebab yang melatarbelakanginya. Peristiwa atau kejadian yang menjadi
penyebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an itu kebanyakan dialami sendiri ole
Rasulullah, atau berkaitan dengan kehidupannya secara langsung. Dan ada juga
peristiwa yang dialami oleh shahabat-shahabatnya lalu disampaikan atau
diketahui oleh Rasulullah, kemudian turunlah ayat yang berkaitan dengannya.
Ada surat atay
ayat yang turun di Mekkah atau turun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah,
sehingga dikategorikan sebagai surat-surat Makkiyyah. Dan ada juga surat atau
ayat yang turun di Madinah, atau turun sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah,
sehingga dikategorikan sebagai surat-surat Madaniyyah.
Allah telah
menjelaskan dalam beberapa ayat-Nya bahwa al-Qur’an itu diturunkan kepada
Rasulullah secara bertahap dan berangsur-angsur. Di antaranya adalah sebagai
berikut.
وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ
عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيْلاً
“Dan al-Qur'an
itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya
perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS.
al-Isra’: 106).
Orang-orang
kafir pada waktu itu sempat protes dan berdemo tentang turunnya al-Qur’an
secara bertahap. Karena kitab-kitab suci sebelumnya; Zabur, Taurat, Injil dan
lainnya turunnya sekaligus atau tidak berangsur-angsur. Dan inilah salah satu
keistimewaan yang dimilik al-Qur’an disbanding kitab-kitab suci lainnya.
Dalam
al-Qur’an Allah menceritakan keberatan orang-orang kafir atas turunnya
al-Qur’an secara berangsur-angsur.
وَقَالَ
الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْ لاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً
كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيْلاً
“Berkatalah
orang-orang yang kafir: "Mengapa al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya
sekali turun saja?" Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan
Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. al-Furqan: 32).
Hikmah Diturunkannya al-Qur'an Secara Bertahap
Ada banyak
hikmah yang terkandung dalam proses turunnya al-Qur’an secara bertahap, karena
setiap apa saja yang dilakukan Allah pasti mengandung banyak hikmah di
dalamnya, baik hikmah itu kita ketahui langsung di dunia ini maupun yang belum
kita ketahuo. Termasuk dalam penurunan al-Qur’an secara bertahap, tidak
sekaligus turun 30 juz kepada Rasulullah, sebagaimana kitab-kitab suci
sebelumnya. Padahal kalau Allah menghendaki cara seperti itu, bukanlah hal yang
sulit bagi Keagungan dan Kekuasan-Nya.
Di antara
hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Menguatkan dan meneguhkan hati
Rasulullah
وَقَالَ
الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْ لاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً
كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيْلاً
“Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa al-Qur'an
itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?" Demikianlah supaya Kami
perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan
benar).” (QS. al-Furqan: 32).
2.
Mu’jizat bagi Rasulullah dan
tantangan bagi orang kafir
أَمْ
يَقُوْلُوْنَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُواْ بِعَشْرِ سُوَرٍ مِّثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ
وَادْعُواْ مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّهِ إِنْ كُنتُمْ صَادِقِيْنَ
“Bahkan mereka
mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Qur'an itu", Katakanlah:
"(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat
yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya)
selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar". (QS. Hud: 13).
3.
Mempermudaah hafalan dan pemahaman
هُوَ
الَّذِيْ بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّيْنَ رَسُوْلاً مِّنْهُمْ يَتْلُوْ عَلَيْهِمْ
آيَاتِهِ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوْا
مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلاَلٍ مُّبِيْنٍ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang
buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As
Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang
nyata.” (QS. al-Jumuah: 2).
4.
Kesesuaian dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi atau fenomena yang ada
وَإِذْ
تَقُوْلُ لِلَّذِيْ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ
عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِيْ فِيْ نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيْهِ
وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ
مِّنْهَا وَطَراً زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَ يَكُوْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ
حَرَجٌ فِيْ أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَراً وَكَانَ
أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُوْلاً
“Dan
(ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan
ni`mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni`mat kepadanya: "Tahanlah
terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan
di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada
manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala
Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami
kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk
(mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu
telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah
itu pasti terjadi.” (QS. al-Ahzab: 37).
5.
Sebagai bukti adanya tahapan dalam
penetapan hukum
Contoh paling
populer untuk masalah ini adalah penetapan hukum pengharaman khamr atau minuman
keras. Awalnya turun ayat 67 dari Surat an-Nahl. Lalu turun ayat 219 dari Surat
al-Baqarah. Di susul ayat 43 dari Surat an-Nisa’. Kemudian turun ayat 90-91
dari Surat al-Maidah sebagai pamungkasnya.
يَاأَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ
وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُوْنَ. إِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوْقِعَ بَيْنَكُمُ
الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ
ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُمْ مُّنْتَهُوْنَ
“Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian
di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu).” (QS. al-Maidah: 90-91).
6.
Bukti nyata bahwa al-Qur'an itu
datangnya dari Allah, bukan produk Rasulullah.
الَر
كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيْمٍ خَبِيْرٍ
“Alif Laam
Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha
Bijaksana lagi Maha Tahu.” (QS. Hud: 1).
Keghaiban Turunnya al-Qur’an
(Nuzulul Qur’an)
Kita tahu
bagaimana cara Allah menurunkan al-Qur’an dari Lauhul mahfuzh ke Baitul ‘Izzah
(di langit dunia). Apakah al-Qur’an itu diturunkan sendiri oleh Allah atau
melalui malaikat-malaikat utusan-Nya? Apakah al-Qur’an itu berbentuk tulisan
atau bukan? Berbentuk mushhaf seperti yang kita miliki sekarang ini atau bukan?
Dan masih banyak hal lagi yang bersifat ghaib seputar proses turunnya
al-Qur’an, dan keghaiban itu harus kita imani adanya, meskipun secara lahiriah
mata kepala kita tidak pernah melihat proses sebenarnya. Itulah bagian dari
keimanan terhadap yang ghaib.
Sedangkan
proses turunnya al-Qur’an kepada Rasulullah secara bertahap, adalah informasi
yang bisa kita akses melalui kitab-kitab hadits dan penjelasan para shahabat
dan para ulama’ yang pakar di bidangnya. Sebagaimana kita juga bisa mendapatkan
informasi tersebut melalui kitab-kitab yang membahas tentang ilmu-ilmu
al-Qur’an.
Di antara
proses turunnya wahyu kepada rasulullah adalah. Pertama, malaikat Jibril datang
seperti gemerincing suara lonceng, suaranya cukup keras yang sangat mengagetkan
orang yang dituju, dan menjadikannya serius untuk menyimak apa yang akan
datang. Dan cara ini terasa sangat berat bagi Rasulullah. Kedua, malaikat
Jibril datang dengan menampakkan diri sebagai sosok manusia atau seorang
laki-laki. Dan cara ini lebih nyaman bagi Rasulullah daripada yang pertama.
Keagungan Allah di Balik Proses Turunnya
al-Qur’an
Banyak
terdapat keagungan Allah dan kebesaran-Nya dibalik proses turunnya al-Qur’an.
Dia Maha Mengetahui dan Maha Pandai. Setelah al-Qur’an yang terdiri dari 30 juz
atau 114 surat itu secara keseluruhan diturunkan ke Baitul ‘Izzah (di langit
dunia), kemudian baru diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun.
Kurun waktu
yang cukup lama. Tapi justru dalam kurun waktu itu, kita bisa merasakan betapa
luasnya ilmu Allah dan betapa agungnya kekuasaan-Nya. Apalagi jika kita
perhatikan kejadian dan peristiwa yang melatarbelakangi turunnya sebagian ayat-ayat
al-Qur’an. Misalnya:
- Sebab turunnya surat al-Lahab.
Ibnu Abbas berkata, "Pada suatu hari Rasulullah naik ke bukit
Shafa, lalu beliau berteriak, "Wahai Kaum! Maka kaum Quraisy berkumpul
memenuhi seruan tersebut. Mereka berkata, 'Ada apa denganmu?' Beliau berkata,
'Apa pendapat kalian, jika aku beritahu bahwa sekarang ada musuh yang akan siap
siaga menyerang kalian di waktu pagi atau sore, apakah kalian mempercayainya?'
Mereka menyahut, 'Ya, kami akan mempercaayainya'. Lalu beliau bersabda,
'Sesungguhnya aku datang sebagai pemberi peringatan bagi kalian, ada adzab yang
pedih bagi (yang mengingkarinya). Maka Abu Lahab berkata, 'Celaka kau wahai
Muhammad, apakah hanya untuk ini kamu mengumpulkan kami semua?' Maka Allah
menurunkan surat al-Lahab, ". (HR. Bukhari, no. 4427).
Allah berfirman.
تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَتَبَّ
﴿١﴾ مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ ﴿٢﴾ سَيَصْلَى نَاراً ذَاتَ لَهَبٍ
﴿٣﴾ وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ ﴿٤﴾ فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ
﴿٥﴾
“Binasalah kedua
tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya
harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang
bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya
ada tali dari sabut.” (QS. al-Masad: 1-5).
Surat al-Lahab adalah bagian dari al-Qur’an yang telah diturunkan Allah
pada proses pertama, yaitu dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah. Tapi
diturunkan Allah ke Rasulullah setelah ada reaksi Abu Lahab yang cukup keras
terhadap dakwah yang disampaikan Rasulullah pertama kali secara
terang-terangan. Maha Suci Allah yang telah mengetahui bahwa pada perjalanan
dakwah Rasulullah, akan ada pertentangan kuat dari Abu Lahab, sehingga Dia
telah menyediakan surat al-Lahab untuk membela Rasul-Nya dan mengutuk sikap Abu
Lahab.
- Sebab turunnya surat al-Kafirun
Ada sekelompok orang kafir Quraisy datang ke Rasulullah, mereka
berkata, "Wahai Muhammad, ikutilah agaama kami, kami akan mengikuti
agamamu. Kami akan menyembah Tuhanmu setahun, dan kamu juga harus menyembah
Tuhan kami setahun. Kalau apa yaang kamu bawa ada kebaikan di dalamnya, maka
kami akan ikut serta merasakan kebaikan tersebut, dan kami akan mendapat
balasannya. Dan jika yang kami miliki ternyata lebih baik daripaada apa yang
kamu baawa, maka kamu akan ikut serta di dalamnya, dan kamu akan mendapatkan
balasannya. Lalu Rasulullah bersabda, 'Aku berlindung kepada Allah dari sesuatu
yang bisa membuatku menyekutukan-Nya dengan yang lain. Kemudian turunlah surat
al-Kafirun. Kemudian Rasulullah pergi ke Masjidil Haram yang mana saat itu
telah berkumpul orang-orang Quraisy. Beliau pun membacakan surat al-Kafirun
kepada mereka sampai selesai. (Kitab Asbabun Nuzul: 307).
Allah berfirman.
قُلْ
يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ ﴿١﴾ لاَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَ ﴿٢﴾ وَلاَ أَنتُمْ
عَابِدُوْنَ مَا أَعْبُدُ ﴿٣﴾ وَلاَ أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلاَ
أَنتُمْ عَابِدُوْنَ مَا أَعْبُدُ ﴿٥﴾ لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ ﴿٦﴾
“Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan
untukkulah, agamaku". (QS. al-Kafirun: 1-6).
Kalau kita mengamati sebab turunnya surat al-Kafirun ini, kita akan
bertambah ta’jub terhadap luasnya pengetahuan Allah. Allah Maha Mengetahui
kalau nantinya akan ada propaganda dari orang-orang Quraisy yang menawarkan
bentuk toleransi beragama yang kebablasan. Dengan menawarkan opsi konyol, bergantian
menyembah tuhan masing-masing. Dan dengan adanya surat al-Kafirun dalam jajaran
surat-surat al-Qur’an, akhirnya Rasulullah mengetahui bahwa beliau harus tegas
dalam masalah praktik ideologi dalam beragama.
- Sebab turunnya ayat ke-12 dari Surat Yasin
Abu Sai'd al-Khudri berkata, "Adalah Banu Salamah tinggal di
daerah yang agak jauh dari Masjid. Lalu suatu saat mereka ingin pindah ke
tempat yang posisinya dekatdengan Masjid. Maka turunkah ayat ke-12 dari surat
Yasin. Maka Rasulullah berkata, "Sesungguhnya langkah-langkah kaki kalian
dihitung dan diberi pahala, lalu kenaapa kalian akan pindah?” (Kitab Asbabun
Nuzul: 245).
Allah berfirman.
إِنَّا
نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوْا وَآثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ
أحْصَيْنَاهُ فِيْ إِمَامٍ مُبِيْنٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami
menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka
tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata
(Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12).
Satu lagi, peristiwa yang bisa menambah keimanan kita kepada Allah.
Setelah Muhammad diutus sebagai seorang rasul, akan ada sekelompok shahabatnya
yang akan berpindah dari tempat yang agak jauh dengan masjid, ke tempat yang
dekat dengan masjid. Sehingga dalam ayat al-Qur’an sudah ada pengajaran bagi
mereka dan kita semuanya, bahwa langkah demi langkah kaki kita ke masjid itu
dihitung oleh Allah. Semakin jauh jaraknya maka semakin banyak pahala dan
keutamaan pelakunya.
Itukan hal yang sepele? Justru itulah, yang sepele bagi kita ternyata
ada tuntunannya dalam al-Qur’an, apalagi yang tidak sepele. Dan apa yang
menurut kita sepele, belum tentu akan sepele nilainya di sisi Allah. Seperti
masalah langkah kaki ke masjid, ternyata nilainya di sisi Allah sangat tingga.
Maka dari itu janganlah kita menyepelekan kebaikan, sekecil apapun. Termasuk
melangkahkan kai ke masjid, agar kita termotifasi untuk meramaikan masjid yang
ada di sekitar kita dengan berbagai macam ibadah dan ketaatan.
Dalam suatu hadits shahih disebutkan.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ -رَضِي اللَّه عَنْه- قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مَنْ تَطَهَّرَ فِيْ بَيْتِهِ، ثُمَّ
مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللَّهِ، لِيَقْضِيَ فَرِيْضَةً مِنْ فَرَائِضِ
اللَّهِ، كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَة،ً وَاْلأُخْرَى
تَرْفَعُ دَرَجَةً. (رواه مسلم)
Abu Hurairah
berkata, “Rasulullah telah bersabda, ‘Barangsiapa bersuci (berwudhu) di
rumahnya, lalu berjalan menuju ke salah satu rumah Allah (masjid) untuk
melaksanakan kewajiban yang telah diperintahkan Allah (shalat), maka langkahnya
yang pertama berarti melebur dosanya, dan langkah-langkah selanjutnya berarti
mengangkat derajatnya’.” (HR. Muslim, no. 1070).
- Sebab turunnya ayat ke-30 dari Surat Fushshilat
Ibnu Abbas berkata, "Orang-orang musyrik berkata, 'Tuhan kami
adalah Allah, dan para malaikat adalah anak-anak perempuan-Nya. Mereka adalah
para perantara kami untuk memohon kepada Allah. Dan keyakinan atau pendirian
itu pun tidak benar. Lalu datanglah orang-orang Yahudi, mereka berkata, 'Allah
Tuhan kami, dan 'Uzair adalah anak-Nya, dan Muhammad bukanlah seorang nabi. Dan
keyakinan atau pendirian itupun tidak benar. Lalu Abu Bakar menyahut, ia
berkata, 'Tuhan kami adalah Allah, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan Muhammad
adalah nabi dan rasul-Nya. Itulah keyakinan yang benar. Lalu turunlah ayat
ke-30 dari surat Fushshilat. (Kitab Asbabun Nuzul: 251).
Allah berfirman.
إِنَّ
الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ
الْمَلاَئِكَةُ أَلاَّ تَخَافُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَأَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ
الَّتِيْ كُنتُمْ تُوْعَدُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah"
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada
mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah
kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah
dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Fushshilat: 30).
Orang-orang yang mengagungkan malaikat ternyata sudah ada sejak zaman
Rasulullah. Dan Allah telah menyiapkan jawabannya jauh sebelum gerakan
penyembahan malaikat itu berkembang. Sehingga saat gerakan itu muncul, Allah
menurunkan wahyu-Nya kepada rasul-Nya. Dan yang menyebabkan turunnya wahyu kali
ini adalah keteguhan iman Abu Bakar terhadap keesaan Allah. Malaikat adalah
makhluk Allah seperti kita, kita tidak boleh menjadikannya sebagai perantara
ibadah kita kepada Allah, apalagi menganggapnya sebagai anak-anak Allah. Itu
adalah bentuk pelecehan dan penghinaan kepada Allah yang harus kita jauhi.
- Sebab turunnya ayat ke-100 dari surat al-An’am
Ulama’ tafsir yang bernama Al-Kalbi berkata, "tersebut turun
kepada orang-orang Zindiq yang waktu itu mereka mengaatakan, 'Sesungguhnya
Allah dan Iblis itu dua bersaudara. Allah adalah Pencipta manusia dan binatang
ternak. Sedangkan Iblis adalah pencipta ular, srigala dan kalajengking. Maka
Allah pun menurunkan ayat tersebut. (Kitab Asbabun Nuzul: 148).
Allah berfirman.
وَجَعَلُواْ
لِلَّهِ شُرَكَاءَ الْجِنَّ وَخَلَقَهُمْ وَخَرَقُواْ لَهُ بَنِيْنَ وَبَنَاتٍ
بِغَيْرِ عِلْمٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَصِفُونَ
“Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah,
padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan
mengatakan): "Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan
perempuan", tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha
Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan.” (QS. al-An’am: 100).
Satu lagi sebagai bagian kecil dari ilmu Allah yang sangat luas. Allah
telah menyiapkan jawaban bagi kita untuk menghadapi gerakan pemuja syetan atau
jin yang akan muncul. Jawaban itu sudah ada sebelum gerakan itu muncul ke
permukaan. Dan begitu gerakan itu menampakkan diri, Allah menurunkan ayat
tersebut di atas kepada Rasul-Nya. Gerakan pemuja syetan atau jin ini
menyamakan kemampuan Iblis yang terbatas dengan Kekuasaan Allah yang tidak Maha
Luas. Mereka menjadikan Iblis sebagai sekutu Allah. Sungguh merupakan kesesatan
yang nyata. Dan Allah telah menyediakan ayat-Nya sebagai bekal kita untuk
meluruskan gerakan pemuja syetan atau jin seperti itu. Subhanallah wal
hamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar.
Ya Allah, La ‘Ilma Lana illa Ma ‘Allamtana
Kalau kita
simak, beberapa sebab yang menjadi latar belakang turunnya ayat-ayat Allah
tersebut, maka kita akan mejumpai betapa tunduknya makhluk ciptaan Allah
kepada-Nya. Apa yang telah menjadi ketetapan Allah pasti akan terjadi sesuai
dengan apa yang telah Dia tetapkan.
Kisah kehidupan
Abu Lahab dan Istrinya yang dipanggil Ummu Jamil misalnya, keduanya telah
ditetapkan Allah sebagai penghuni neraka di akhirat kelak. Dan berita ini
sebetulnya merupakan rahasia kehidupan akhirat yang ghaib, dan Allah telah
memobocorkannya kepada kita. Sehingga masyarakat yang hidup pada waktu itu
mengetahui bahwa Abu Lahab dan istrinya kelak akan celaka dan masuk neraka.
Padahal waktu
itu Abu Lahab yang nama aslinya Abdul ‘Uzza bin ‘Abdul Mutthalib masih hidup.
Dan sebetulnya menjadi peluang besar baginya untuk melakukan intrik guna
mempropagandakan kepada kaum Quraisy dan yang lainnya, bahwa yang disampaikan
Rasulullah adalah kebohongan dan dusta. Yaitu dengan ia berpura-pura masuk
Islam, lalu dengan lantang berkata kepada semua orang yang ditemuinya, “Surat
al-Lahab tidak benar, buktinya sekarang saya masuk Islam. Berarti saya tidak
akan celaka atau masuk neraka sebagaimana yang dikatakan dalam surat al-Lahab”.
Tapi apa
kenyataannya, sejak turun ayat tersebut (sebelum hijrahnya Rasulullah ke Madinah)
sampai meninggalnya Abu Lahab, tak terbersit di hatinya sedikit pun untuk masuk
Islam. Bahkan sebaliknya, kebencian dan permusuhannya kepada Rasulullah dan
shahabat-shahabat yang telah mengikutinya semakin memuncak dan membara, sampai
akhir hayatnya.
Begitu juga
Ummu Jamil yang nama aslinya Urwa binti Harb binti Umayyah, ia juga tak jauh
berbeda dengan perjalanan hidup suaminya. Sepertinya ia merupakan sejoli yang
setali dua uang dengan suaminya, dalam rangka memusuhi Rasulullah dan
orang-orang mukmin pada saat itu. Sampai akhir hayatnya, ia tidak tersentuh
cahaya petunjuk yang dipancarkan Allah melalui rasul-Nya. Sehingga ia mati
dalam keadaan kafir. Dengan demikian terbuktilah kebenaran yang disampaikan
Allah dalam surat al-Lahab tersebut.
Menyimak fenomena
seperti itu, kita hanya bisa berucap, “Subhanakallahumm, la ‘ilma lana illa
ma ‘allamtana, innaka antal ‘alimul hakim”. (Maha Suci Engka ya Allah!
Tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.
Sesungguhnya Engkau Dzat yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana).”
Apa yang Terjadi, Telah ada
Dalam Catatan-Nya
Semua kejadian
yang terjadi di bumi ini, yang baik atau yang buruk, terjadi atas kehendak
Allah, bukan kehendak sosok-sosok misterius yang diyakini sebagai penguasa
setempat. Gempa dan tsunami yang telah terjadi di negeri ini, atau yang akan
terjadi (jika Allah menghendakinya) adalah merupakan kehendak Allah dan
ketetapan yang digariskannya sejak dahulu kala. Begitu juga bencana dan
mushibah yang lainnya.
Allah berfirman.
وَمَا
تَكُوْنُ فِيْ شَأْنٍ وَمَا تَتْلُوْ مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلاَ تَعْمَلُوْنَ مِنْ
عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُوْداً إِذْ تُفِيْضُوْنَ فِيْهِ وَمَا
يَعْزُبُ عَنْ رَّبِّكَ مِنْ مِّثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاء
وَلاَ أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلاَ أَكْبَرَ إِلاَّ فِيْ كِتَابٍ مُّبِيْنٍ
“Kamu tidak berada
dalam suatu keadaan, dan tidak membaca suatu ayat dari Al Qur'an, dan kamu
tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu
kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah
(atom) di bumi atau pun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula)
yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata
(Lauh Mahfuzh).” (QS. Yunus: 61).
Oleh karena itu,
kalau kita merasa takut dan ngeri, “Jangan-jangan bencana seperti suatu saat
akan menimpa kita?”, maka mohonlah perlindungan kepada Allah dari bencana yang
kita takutkan. Dan jangan memohon kepada yang lain-Nya dengan mengelar ritual
ruatan dan yang sejenisnya.
Kalau bencana
itu telah menimpa diri kita atau kingkungan yang ada di sekitar kita, maka
berdo’alah kepada Allah, agar Allah melimpahkan pahala kepada kita atas
kesabaran kita dalam menghadapi takdir buruknya, dan semoga Allah mengganti apa
yang hilang dari kita karena bencana tersebut dengan yang lebih baik. Semoga
bencana yang telah terjadi itu menjadi pelebur dosa dan kesalahan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar