Rabu, 15 Mei 2019

BAGAIMANA INTERAKSI KITA DENGAN RAMADHAN


Oleh: Dr. Atabik Luthfi, MA

“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana (hal itu) telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Satu kemudahan yang Allah berikan bahwa susunan ayat-ayat tentang puasa berada dalam satu surah secara berurutan, yaitu Surah Al-Baqarah ayat 183,184,185 dan 187. Kecuali ayat 186 yang berbeda kandungan pembahasannya. Namun keterkaitannya dengan puasa masih tetap kentara karena ayat ini mengisyaratkan kedekatan Allah dengan hamba-Nya.untuk diajak berkomunikasi melalui media doa. “Dan jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku maka katakanlah Aku dekat. Aku memenuhi permintaan orang yang meminta jika ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah ia memenuhi segala perintah-Ku dan beriman kepada-Ku agar senantiasa mendapat petunjuk.” Dan bulan Ramadhan adalah bulan dimana seseorang memperbanyak komunikasi dengan Allah. Karena doa seseorang yang berpuasa tidak akan ditolak oleh Allah, apalagi saat ia berbuka seperti yang ditegaskan oleh Rasulullah, “Doa orang yang berpuasa ketika ia berbuka tidak akan ditolak oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah). Betapa puasa Ramadhan harus mendapat perhatian serius dari kita selaku orang-orang yang beriman dengan ayat ini.
            Perintah puasa dimulai dengan panggilan kehormatan kepada mereka yang masih mampu mempertahankan keimanannya. Panggilan akrab ini sebagai satu isyarat bahwa hanya mereka yang benar-benar beriman yang mampu melaksanakan puasa yang bisa mencapai target takwa. Karena puasa sudah menjadi kebutuhan dan tradisi manusia sepanjang zaman, muslim maupun non muslim. Jika puasa tidak bisa menghantarkan seseorang kepada derajat takwa, maka puasa itu masih sebatas memenuhi hajah basyariyah (kebutuhan manusiawi) seperti yang dilakukan oleh mereka yang berpuasa karena tuntutan kesehatan atau sebagainya. Inilah rahasia Allah mengawali pembahasan puasa dengan seruan yang ditujukan khusus (takhsish) kepada orang-orang yang beriman. Dan disinilah inti perbedaan antara puasa orang-orang yang beriman dengan puasa selain mereka.
            Perintah yang ditujukan khusus kepada orang-orang yang beriman, selain sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan Allah atas keimanan mereka, juga merupakan ujian atas keimanan. Mampukah dengan menjalankan puasa di bulan Ramadhan keimanan mereka meningkat mencapai derajat takwa. Panggilan takhsish ini mestinya bisa mengetuk hati kecil mereka untuk terpanggil melaksanakan perintah-perintah Allah.
            Ibnu Mas’ud radhiallau anhu mengemukakan satu kaidah tentang ayat-ayat yang dimulai dengan seruan “Hai orang-orang yang beriman”. Beliau menyatakan, “Jika kalian mendengar (atau membaca) firman Allah yang dimulai dengan ungkapan “hai orang-orang yang beriman” maka perhatikanlah dengan seksama. Karena setelah kalimat ini ada kebaikan yang dituntut dari kita untuk melakukannya atau keburukan yang diminta dari kita untuk menjauhinya.” Betapa banyak kebaikan dan manfaat yang bisa kita raih di bulan Ramadhan dengan keberkahannya.

            Al-Qurtubi, ketika menafsirkan ayat puasa di atas, mengaitkannya dengan hadits Rasulullah “Seluruh amal anak Adam adalah untuk dirinya kecuali puasa, ia untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya.” (HR. Muslim). Beliau menyatakan bahwa puasa memang berbeda dengan amal ibadah yang lain. Keistimewaan puasa antara lain bisa dilihat dari dua hal: pertama, puasa menghalangi seseorang menikmati kesenangan biologis (dalam waktu yang cukup lama) yang tidak dilarang dalam ibadah yang lain. Kedua, ibadah puasa merupakan rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Hanya Allah yang mengetahui rahasia nilai ibadah puasa, sedangkan ibadah-ibadah yang lain sangat jelas dan bisa dilihat oleh orang lain.
            “Sebagaimana (puasa) itu telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Dalam sejarah, puasa sudah dikenal oleh umat-umat terdahulu. Justru, puasa yang mereka lakukan lebih berat dari yang kita lakukan sekarang ini. Puasa nabi Daud adalah sehari puasa dan sehari berbuka. Puasa nadzarnya Maryam seperti yang diisyaratkan dalam surah Maryam: 26 adalah dengan tambahan meninggalkan berbicara. Sebelum turun ayat terakhir dari ayat puasa, tatacara puasa yang dilakukan oleh umat Islam generasi awal cukup berat. Seseorang yang tertidur saat waktu berbuka tiba hingga malam hari, harus meneruskan puasanya hingga waktu berbuka berikutnya Dengan memahami keberatan puasa mereka dan keringanan tatacara puasa kita seharusnya menjadi motivasi bagi kita untuk meningkatkan aspek amaliah selain hanya berpuasa meninggalkan makan, minum dan hal-hal yang dilarang lainnya di bulan Ramadhan.
            Amaliah Ramadhan selain puasa inilah justru yang bisa menghantarkan seseorang kepada derajat takwa. Ada beberapa interaksi yang bisa kita lakukan sepanjang bulan ramadhan: Pertama, interaksi ta’abbudi dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas amal ibadah. Hampir seluruh amal ibadah ada di bulan yang mulia ini, dari tilawah Al-Qur’an, qiyamul lail, i’tikaf di sepuluh malam terakhir dan aktivitas ibadah mahdhah lainnya. Peningkatan bobot ibadah ini akan memacu ketakwaan seseorang kepada Allah. Kedua, interaksi ilmiy dalam bentuk peningkatan kuantitas pembacaan dan pemahaman terhadap sumber-sumber ajaran Islam; tadabbur dan tafsir Al-Qur’an, membaca kitab-kitab hadits, buku-buku pemikiran keislaman dan referensi ajaran Islam lainnya. Betapa waktu Ramadhan lebih banyak peluang kita untuk berinteraksi dengan sumber-sumber ajaran Islam. Ketiga, interaksi akhawi dalam bentuk peningkatan dan pelebaran sayap ukhuwwah (persaudaraan) kita dengan sesama. Ramadhan sangat efektif untuk membangun silaturahim dengan program ifthor jama’i, sahur bersama, serta program zakat, infak dan shodaqah. Keempat, interaksi da’awi dalam bentuk perluasan wilayah dan sasaran dakwah yang begitu terbuka dengan kehadiran Ramadhan. Kesiapan dan keterbukaan hati seseorang di bulan Ramadhan sangat mungkin untuk menerima taujihat rabbaniyah dan ta’limat ilahiyyah melalui sarana dakwah.
            Maka takwa dalam pandangan Hasan bin Thalq seperti yang dinukil oleh Ibn Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-`Adzim bisa dilihat dari amaliah sehari-hari. Beliau menyebutkan bahwa takwa adalah: hendaklah engkau (sebanyak mungkin) melakukan amal-amal ketaatan dengan cahaya dari Allah dan semata-mata mengharapkan pahala-Nya. Juga engkau mampu meninggalkan segala bentuk kemaksiatan dengan petunjuk dari Allah karena takut akan adzab-Nya. Inilah saat yang tepat untuk mengasah sensitivitas keimanan kita menuju pribadi yang bertakwa dengan memperbanyak aktivitas amal ibadah dan amal sholeh di bulan Ramadhan.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saya kelabuhi pasien dengan Energi baterai

Perdukunan penuh dengan kebohongan? Itulah pengalaman hidup yang dijalani Ipon, seorang dukun yang kini telah bertaubat. Dengan berbagai tri...