Selasa, 26 Maret 2019

Tiga kali, aku nyaris diperkosa jin



Maria: (34 tahun) Ibu Rumah Tangga

Enam tahun lalu, aku menikah dengan seorang duda beranak satu. Sebut saja namanya Toni. Ia seorang pelaut. Waktu itu aku masih gadis. Usiaku baru 28 tahun. Untuk ukuran kehidupan kota besar seperti Jakarta, usiaku belum terlalu tua. Boleh dibilang masih belum terlambat menikah. Terlebih aku seorang wanita karir.
Aku bekerja di salah satu bank pemerintah. Sedemikian kuatnya keinginan untuk mengejar jabatan yang setinggi-tingginya, sampai terlintas dalam pikiran untuk tidak cepat-cepat menikah. Toh, tanpa bersuami pun aku dapat memenuhi kebutuhan hidupku. Begitulah prinsipku dulu. Meski tidak sedikit lelaki yang menyatakan cintanya, tapi aku enggan menanggapi mereka.
Suatu sore, telepon rumah berdering. Aku yang sedang asyik membaca tabloid dwi mingguan di sofa, dengan sedikit malas, bangkit mengangkat telepon. Rupanya, suara kakak di seberang sana. Suasana rumah menjadi ramai. Biasa, kalau sudah ngobrol di telepon, ada saja cerita lucu tentang Adit, keponakanku, yang berusia dua tahun.
Tiba-tiba Kakak nyeletuk, “Mar, mau nggak dikenalin dengan duda?” tanyanya dengan nada sedikit bergetar. Mungkin kakak takut menyinggung perasaanku.
“Duda?” tanyaku setengah tidak percaya. “Nggak ah,” tolakku. Sebagai gadis, otomatis, aku langsung menolak. Apalagi ia sudah memiliki satu anak, sementara istrinya pun masih tinggal sekota. Aku khawatir, kelak akan menjadi pergunjingan orang.
“Ya sudah, tidak apa-apa. Tapi besok bisa kan main ke toko? Kebetulan Adit besok minta diajak sekalian ke toko,” tanya kakak. Tanpa curiga apa-apa, aku menyanggupinya. Apalagi sudah tiga minggu, Adit tidak main ke rumah. Aku kangen dengan bicaranya yang cadel.
Minggu pagi, aku bergegas ke toko kakak di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Aku tidak sabar ingin bertemu dengan keponakanku. Ulahnya yang menggemaskan membuatku tidak ingin berlama-lama di rumah.

Pertemuan yang tidak terduga
Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh, ketika aku sampai di toko kakak. Kulihat Adit asyik berlarian di antara sela-sela stand toko ditemani seorang baby sitter. Kubelokkan langkahku ke arah Adit. Aku pun lebih senang menghabiskan waktu bersama Adit daripada di toko. Setelah satu jam bermain dengan Adit, aku baru menemani kakak menjaga toko. Sesekali ikut melayani pembeli yang melihat pakaian yang dipajang di etalase.

Selepas Dzuhur, kulihat ada tiga laki-laki yang masuk ke toko.  Tidak seperti pengunjung lainnya, mereka tidak begitu tertarik dengan pakaian yang ada. Mereka bahkan lebih senang berbincang-bincang dengan kakak. Aku yang sedang melayani pelanggan, diberi kode agar segera menemui kakak ketika sudah selesai melayani pelanggan.
Tanpa curiga sedikitpun, aku menghampiri kakak dengan tiga orang tamunya. “Maria,” kataku memperkenalkan diri. “Toni,” begitu kata salah seorang dari mereka menyebut nama.
Aku langsung teringat dengan obrolanku dengan kakak kemarin. Oh, ini rupanya yang namanya Toni. Seorang duda beranak satu yang hendak diperkenalkan denganku.
Saat itu, terus terang aku tidak begitu terkesan dengan penampilannya. Lusuh dan seakan terhimpit beban yang berat. Ia mengenakan baju berwarna merah. Sangat tidak serasi dengan warna kulitnya yang menghitam. Sepintas kulihat, ada kancing bajunya yang terlepas. Sementara pada sudut yang lain, bajunya sedikit robek. Itu pun dijahit dengan asal-asalan.

Saya kelabuhi pasien dengan Energi baterai

Perdukunan penuh dengan kebohongan? Itulah pengalaman hidup yang dijalani Ipon, seorang dukun yang kini telah bertaubat. Dengan berbagai tri...