Maria:
(34 tahun) Ibu Rumah Tangga
Enam
tahun lalu, aku menikah dengan seorang duda beranak satu. Sebut saja namanya
Toni. Ia seorang pelaut. Waktu itu aku masih gadis. Usiaku baru 28 tahun. Untuk
ukuran kehidupan kota besar seperti Jakarta, usiaku belum terlalu tua. Boleh
dibilang masih belum terlambat menikah. Terlebih aku seorang wanita karir.
Aku
bekerja di salah satu bank pemerintah. Sedemikian kuatnya keinginan untuk
mengejar jabatan yang setinggi-tingginya, sampai terlintas dalam pikiran untuk
tidak cepat-cepat menikah. Toh, tanpa bersuami pun aku dapat memenuhi
kebutuhan hidupku. Begitulah prinsipku dulu. Meski tidak sedikit lelaki yang
menyatakan cintanya, tapi aku enggan menanggapi mereka.
Suatu
sore, telepon rumah berdering. Aku yang sedang asyik membaca tabloid dwi
mingguan di sofa, dengan sedikit malas, bangkit mengangkat telepon. Rupanya,
suara kakak di seberang sana. Suasana rumah menjadi ramai. Biasa, kalau sudah ngobrol
di telepon, ada saja cerita lucu tentang Adit, keponakanku, yang berusia dua
tahun.
Tiba-tiba
Kakak nyeletuk, “Mar, mau nggak dikenalin dengan duda?” tanyanya
dengan nada sedikit bergetar. Mungkin kakak takut menyinggung perasaanku.
“Duda?”
tanyaku setengah tidak percaya. “Nggak ah,” tolakku. Sebagai gadis,
otomatis, aku langsung menolak. Apalagi ia sudah memiliki satu anak, sementara
istrinya pun masih tinggal sekota. Aku khawatir, kelak akan menjadi
pergunjingan orang.
“Ya
sudah, tidak apa-apa. Tapi besok bisa kan main ke toko? Kebetulan Adit
besok minta diajak sekalian ke toko,” tanya kakak. Tanpa curiga apa-apa, aku
menyanggupinya. Apalagi sudah tiga minggu, Adit tidak main ke rumah. Aku kangen
dengan bicaranya yang cadel.
Minggu
pagi, aku bergegas ke toko kakak di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Aku
tidak sabar ingin bertemu dengan keponakanku. Ulahnya yang menggemaskan
membuatku tidak ingin berlama-lama di rumah.
Pertemuan
yang tidak terduga
Jarum
jam sudah menunjuk angka sepuluh, ketika aku sampai di toko kakak. Kulihat Adit
asyik berlarian di antara sela-sela stand toko ditemani seorang baby sitter.
Kubelokkan langkahku ke arah Adit. Aku pun lebih senang menghabiskan waktu
bersama Adit daripada di toko. Setelah satu jam bermain dengan Adit, aku baru
menemani kakak menjaga toko. Sesekali ikut melayani pembeli yang melihat
pakaian yang dipajang di etalase.
Selepas
Dzuhur, kulihat ada tiga laki-laki yang masuk ke toko. Tidak seperti pengunjung lainnya, mereka
tidak begitu tertarik dengan pakaian yang ada. Mereka bahkan lebih senang
berbincang-bincang dengan kakak. Aku yang sedang melayani pelanggan, diberi kode
agar segera menemui kakak ketika sudah selesai melayani pelanggan.
Tanpa
curiga sedikitpun, aku menghampiri kakak dengan tiga orang tamunya. “Maria,”
kataku memperkenalkan diri. “Toni,” begitu kata salah seorang dari mereka
menyebut nama.
Aku
langsung teringat dengan obrolanku dengan kakak kemarin. Oh, ini rupanya yang
namanya Toni. Seorang duda beranak satu yang hendak diperkenalkan denganku.
Saat
itu, terus terang aku tidak begitu terkesan dengan penampilannya. Lusuh dan
seakan terhimpit beban yang berat. Ia mengenakan baju berwarna merah. Sangat
tidak serasi dengan warna kulitnya yang menghitam. Sepintas kulihat, ada
kancing bajunya yang terlepas. Sementara pada sudut yang lain, bajunya sedikit
robek. Itu pun dijahit dengan asal-asalan.